Ponirah Namaku Ponirah. Aku lahir dari ibu yang bernama Sumirah. Bertahun-tahun aku memercayai kalau ayahku bernama Purwadi. Karena Purwadilah lelaki yang kupanggil bapak. Dia baik walau kadang keras. Namun, seperti ibuku, kulitnya coklat, hidungnya pesek, matanya kelam, dan rambutnya hitam. Rambutku juga hitam. Tapi kulitku putih, hidungku bangir, dan yang paling aneh adalah, mataku biru. Sedari kecil, mulutku tak henti melontar tanya, kenapa aku tidak mirip Bapak, Ibu? Kenapa aku tidak mirip Ibu, Bapak? Kenapa aku tidak mirip bapak dan ibuku? Aku cantik. Semua orang gemas melihatku karena kata mereka, aku seperti boneka. Tapi di balik pancaran mata gemas orang-orang yang memandangku, aku juga menangkap sinyal tak suka. Entahlah, mungkin sinis, atau meledek. Teman-teman kecilku memanggilku Londo Jowo. Ada juga yang memanggilku Si Bule. Banyak pula yang tertawa karena mataku biru tapi namaku Ponirah. Sebagian orang memanggilku si anak kompeni. Julukan yang terakhirlah yang menu
Sekarang tanggal 23 April. Konon, sekarang hari buku sedunia. So, Happy World Day! Omong-omong tentang buku, saya jadi ingin bercerita sedikit tentang masa kecil saya. Saya lahir dan tinggal di Cirebon sampai umur 13 tahun. Masa itu, saya sepertinya nggak pernah diajak pergi ke toko buku, deh. Ada atau tidaknya toko buku, saya juga nggak ingat. Tapi, di rumah, saya mendapat asupan buku yang cukup lumayan. Bapak saya seorang guru. Secara berkala, Bapak membawa buku-buku koleksi perpustakaan sekolah ke rumah. Saya jadi kenal Lima Sekawan, Malory Towers, Sapta Siaga, Trio Detektif, Si Noni, juga aneka dongeng dunia. Satu judul dari serial Noni yang saya ingat adalah Sang Bromocorah. Sampul dan judulnya bagi saya serem banget. Tapi ceritanya saya suka banget. Saya sudah lupa alunya, tapi persahabatan Noni dan sang bromocorah itu bikin saya mengkhayalkan diri sebagai Noni. Kebetulan belakang rumah saya jalan setapak menuju kebun yang gelap. Dan halaman belakang rumah saya hanya berpa