Ponirah
Namaku Ponirah. Aku lahir dari ibu yang bernama
Sumirah. Bertahun-tahun aku memercayai kalau ayahku bernama Purwadi. Karena
Purwadilah lelaki yang kupanggil bapak. Dia baik walau kadang keras. Namun,
seperti ibuku, kulitnya coklat, hidungnya pesek, matanya kelam, dan rambutnya
hitam. Rambutku juga hitam. Tapi kulitku putih, hidungku bangir, dan yang
paling aneh adalah, mataku biru. Sedari kecil, mulutku tak henti melontar
tanya, kenapa aku tidak mirip Bapak, Ibu? Kenapa aku tidak mirip Ibu, Bapak?
Kenapa aku tidak mirip bapak dan ibuku?
Aku cantik. Semua orang gemas melihatku karena kata
mereka, aku seperti boneka. Tapi di balik pancaran mata gemas orang-orang yang
memandangku, aku juga menangkap sinyal tak suka. Entahlah, mungkin sinis, atau
meledek. Teman-teman kecilku memanggilku Londo Jowo. Ada juga yang
memanggilku Si Bule. Banyak pula yang tertawa karena mataku biru tapi namaku
Ponirah. Sebagian orang memanggilku si anak kompeni. Julukan yang terakhirlah
yang menuntunku menyusuri labirin yang gelap berliku tentang asal-usulku.
Anak kompeni, berarti anak penjajah Belanda. Tapi bagaimana bisa? Hati kecilku
berontak. Ibuku Sumirah, Bapakku Purwadi. Mereka pribumi, Jawa asli. Tentang
mataku yang biru, dan hidungku yang mancung, mungkin karena Tuhan sedang iseng
ketika membuatku. Setidaknya, itulah yang kuharap. Sebuah pengingkaran yang
sia-sia karena aku tahu ada yang keliru. Ada yang salah dengan fisikku. Dan itu
hanya bisa terjadi oleh kesalahan masa lalu.
“Bu,
betulkah Bapak Purwadi adalah bapakku?” ketika beranjak remaja aku pernah
bertanya pada ibuku.
Ibuku tidak
menoleh, dan juga tidak menjawab. Dia sudah terbiasa dengan pertanyaan ini. Aku
telah mengucapkannya berulangkali sejak kecil. Tapi kau tahu, pertanyaan yang
diucapkan ketika remaja adalah pertanyaan yang betul-betul membutuhkan jawaban.
Maka aku marah pada kebisuan Ibu.
“Katakan,
Bu. Siapa bapakku yang sebenarnya?”
“Kamu itu
ngomong apa tho, Nduk?”
Aku tatap
tajam mata Ibu yang berwarna kelam. Sinar dalam mata itu pun kelam. Ada
selubung penuh rahasia yang menyelimutinya.
Jangan
berlagak tidak mengerti, Bu. Aku ingin tahu, aku ini anak siapa?”
“Jelas-jelas
kamu anak Bapak dan Ibu, Nduk. Sekarang, Ibu mau tanya padamu. Apa
selama ini kami kurang memberikan kasih sayang padamu?”
Aku
menggeleng.
“Apa kami
kurang memperhatikanmu?”
Lagi-lagi,
aku menggeleng.
“Tidak
memenuhi kebutuhanmu?”
Aku menunduk
dalam-dalam, lalu menggeleng dengan lemah.
“Itu sudah
cukup, nduk. Kamu anak Ibu dan Bapak,” tegas Ibu. Matanya tajam menatapku. Dia tidak mau dibantah.
Aku berhenti
bertanya secara lisan kepada ibu. Tapi hati ini tetap tidak bisa diam. Maka aku
bertanya pada bapak. Yang kuterima adalah bentakan. Aku tanya pada paman, bibi,
kerabat, tetangga, yang kudapat hanya guyonan, senyum sinis, cemooh, atau
kebisuan.
Jawaban yang
mungkin mendekati kebenaran justru kudapati dari teman-teman sebayaku. “Sudah
jelas kamu anak Londo, begitu kata mereka.
Tapi siapa Londo itu?
Nanda de Werd Verduijn
Ayahku gugur dalam pertempuran melawan Jepang di
Samudera Hindia dalam Perang Dunia II. Bertahun, masa kanak-kanakku dipenuhi
oleh cerita heroik tentang perjuangan ayah
“Ayahmu seorang pahlawan yang gagah berani.” Kalimat itu selalu
diucapkan Ibu sebagai penutup cerita-ceritanya tentang Ayah. Sampai kemudian,
di sekolah, aku mulai mempelajari sejarah.
Perang. Satu kata yang sebelumnya membuncahkan rasa
bangga akan kepahlawanan Ayah, menjadi jungkir balik maknanya di
otakku. Ada saat di mana aku tidak mampu mencernanya. Di lain waktu, beribu
pertanyaan berdesakan di kepalaku. Begitu banyak sehingga lebih baik tidak
terjawab karena tidak akan ada satu jawaban pun yang dapat memuaskanku. Bisakah
ayahku disebut pahlawan oleh bangsa yang telah dijajahnya?
Namun demikian, selalu hal baik yang patut dikenang
dari seorang ayah yang telah tiada. Maka aku belajar membutakan mata, hati, dan
telingaku dari hal-hal yang justru akan membuatku terluka. Aku berhenti
berpikir tentang Indonesia, negeri tempat aku dilahirkan. Konon, di sanalah
ayahku mengangkat senjata demi kejayaan negara kami.
Tapi aku tidak bisa membutakan hati terhadap sosok
ayah. Ayahku, sebagai seorang Verduijn. Seperti apakah dia?
Ponirah
Yang kutahu, Londo adalah penjajah. Bangsa yang telah menduduki
tanah air kami dan menyebabkan bangsa kami terpuruk selama berabad-abad. Aku
benci pada mereka. Namun aku lebih benci lagi kepada diriku sendiri karena ada
darah Londo yang mengalir dalam nadiku. Aku tidak mau. Aku berontak. Aku
ingin mengingkari. Tapi darah itu yang menjadikan mataku biru. Aku tidak bisa
menghindar, apalagi sembunyi. Lalu aku menjadi antipati terhadap cermin. Karena
ketika melihat bayangan mata itu, aku melihat sebuah rahasia kelam. Bukannya
tidak pernah kucoba untuk menafikannya. Berkali-kali kucoba. Tapi mata biru ini
serupa hantu yang terus membayangiku. Aku terpuruk dalam kebencian sekaligus
rasa penasaran.
“Bu, katakan terus terang, siapa sebenarnya
bapakku?!” bertambah dewasa, aku mulai berani kembali bertanya, kali ini dengan
nada membentak.
Ibuku, yang tubuhnya makin renta, bergeming. Dia
tetap asyik memilah-milah gabah dan batu dari beras untuk makan hari ini.
Tangan-tangan berwarna coklat tua nan kurus itu begitu keriput dan mengkilat.
Terlihat ringkih, namun sebenarnya perkasa. Tangan yang pernah menimangku itu
telah melakukan banyak hal berarti bagi kehidupan kami.
“Ayolah, Bu,” bujukku. “Katakan yang sebenarnya. Aku
perlu mengetahui tentang asal-usulku. Percayalah, ini tidak akan mengubah apa
pun. Ibu dan Bapak tetap orang tuaku, yang akan kucinta sampai akhir hayat
nanti.”
Ibu hanya mendesah lirih. Matanya yang menunduk kini
menyirat duka. Dia menatapku sejurus pandang. Hanya sekian detik, lalu
pandangnya beralih kembali ke beras dalam nampan. Lalu diam. Tak sepatah kata
pun diucapkannya.
Aku mendesah dan berlalu. Entah kapan rahasia ini
akan terungkap.
Nanda de Werd Verduijn
Laki-laki itu tampan dan gagah. Kumis lebat keemasan
bertengger serasi di antara bibir merah dan hidung bangirnya. Rambutnya
pirangnya yang tersisir rapi tersembunyi di balik topi prajurit. Mata biru itu,
menyorot tajam dan berwibawa. Dia berdiri tegak. Tubuhnya tegap laksana tonggak
memancang bumi. Ayahku, seorang prajurit sejati.
Foto itu hitam putih. Kusam dan agak berjamur. Namun Ibu menceritakan setiap warna ayah.
“Bulu mata ayahmu berwarna emas,” desis ibu
mengenang. Mata wanita tua itu menerawang, seolah ada gambaran masa lalu di
depannya.
Ah, Ibu memang terlalu mencintai Ayah. Tidak pernah
sedikit pun aku mendengar hal jelek tentang Ayah. Bahkan tentang kebiasaan
mendengkur Ayah, yang kata omaku bunyinya bisa membangunkan seisi rumah, tidak
pernah diceritakan Ibu. Berpuluh tahun sudah Ayah gugur, tidak pernah terlintas
sedikit pun di hati Ibu untuk mencari pengganti Ayah. Bagi Ibu, roh Ayah adalah
napasnya.
Seorang lelaki yang mendapatkan cinta yang begitu
hebat dari istrinya tentulah bukan laki-laki biasa. Pastilah ia seorang lelaki
yang romantis, penyayang, dan setia. Aku merindukan sosok Ayah.
Ponirah
Pencarianku menemui titik terang justru ketika aku
nyaris kelelahan. Usiaku tidak muda lagi. Nyaris limapuluh tahun, sudah beranak
cucu. Sungguh bukan waktu yang main-main jika jiwamu terikat oleh sebuah
rahasia yang tak kunjung terungkap. Tubuh ini lelah, apa lagi pikiran, hati, dan
jiwaku.
Ibu sudah wafat beberapa tahun yang lalu, membawa
rahasia abadinya ke liang kubur. Tidak ada pesan terakhir untukku, apalagi
informasi berharga tentang bapak kandungku. Kupikir, lebih baik rasa
penasaranku ikut kukubur saja bersama jasad ibu.
Sepeninggal ibu, Bapak Purwadi semakin sering
sakit-sakitan. Tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit keriput itu seharian
hanya meringkuk di bale-bale. Matanya selalu kosong. Kadang dia memandangku.
Hanya memandangku, tanpa mengatakan apa pun. Aku tahu ada yang ingin
dikatakannya, tapi sungguh aku tidak ingin mengusiknya. Tubuh dan pikirannya
terlalu rapuh untuk dipaksa. Biarlah dia mengungkapkan isi hatinya bila dia
siap. Dan kalau pun dia tak pernah siap sampai ajal menjemput, aku pasrah.
Sampai suatu malam, Bapak Purwadi memanggilku. Dia
menyerahkan selembar foto hitam putih yang telah berjamur sambil membisikkan
sesuatu di telingaku.
“Bapakmu,” katanya.
Lalu, matanya terpejam.
Nanda de Werd Verduijn
Bila rasa rinduku pada ayah memuncak, kupandangi lekat-lekat
foto itu dan mengagumi lekuk wajah ayah yang berwibawa. Lalu kukirim doa
untuknya. Aku berharap doa-doaku dapat dia dengar di surga sana walau pun aku
tak mengucapkannya di depan pusaranya.
Makam.
Satu hal yang selalu kusesali adalah tidak adanya
makam Ayah. Bukankah orang yang sudah meninggal menandakan eksistensinya dengan
sebuah makam? Setidaknya, ada tempat yang dituju bagi keluarga yang
ditinggalkan ketika mereka merindukan orang terkasih yang telah tiada. Namun Ayah pergi tanpa jejak. Aku tidak tahu bagaimana caranya mencari Ayah. Tidak
ada nama Ayah di pusara mana pun di dunia ini.
Duh, aku ingin sekali duduk bersimpuh sambil mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di
sekitar makam Ayah. Lalu kupercikkan air dan menaburkan bunga mawar di sekujur
tubuh makam Ayah. Akan kuceritakan tentang keseharianku. Tentang teman-temanku
yang nakal, dan sahabat-sahabatku yang manis. Tentang pacar-pacarku yang tampan
dan lucu, romantis, atau pun pecemburu. Lalu, akan kukisahkan bagaimana
akhirnya aku memutuskan siapa yang menjadi suamiku. Cucumu sudah tiga, Ayah.
Ketika kecil mereka sungguh lucu. Sekarang mereka sudah besar. Yang tertua
bahkan sudah punya anak.
Sayang sekali, tidak ada pusara yang dapat kutuju
untuk menceritakan semuanya, terutama menceritakan betapa Ibu sangat
mencintaimu, Ayah.
Ponirah
Mereka betul. Aku anak kompeni.
Hal pertama yang berkecamuk di otakku ketika kulihat
wajah itu adalah kemarahan. Darahku yang mendidih mengalir cepat ke ubun-ubun.
Kepalaku pusing bagai dihantam godam. Lelaki berseragam prajurit Belanda ini
terlihat begitu angkuh. Di seragamnya terdapat emblem nama: J.W. Verduijn.
Mata biru itu, sama persis dengan mataku. Aku seorang Verduijn.
Oh, Ibu, apa yang terjadi dengan kalian hingga aku
terlahir ke dunia? Tak mungkin karena cinta. Aku tidak bisa membayangkan
seorang prajurit penjajah jatuh cinta pada gadis kampung seperti Ibu.
Oh, aku tak sanggup membayangkan jika ternyata ibu
diperkosa oleh bapakku. Pemikiran yang paling masuk akal ini membuatku
bergidik. Ya Tuhan, jika memang benar, betapa sangat menderitanya Ibu.
Bagaimana mungkin dia sanggup membesarkanku dengan cinta kasih tanpa teringat
wajah orang yang telah memperkosanya? Tapi hatiku berontak dengan pemikiran
itu. Jika prajurit ini memang memperkosa Ibu, mengapa Ibu menyimpan fotonya?
Jangan-jangan, dahulu Ibu menjadi gundik
prajurit Belanda ini? Bukankah lazim jika seorang prajurit Belanda mempunyai
gundik wanita lokal di daerah yang didudukinya? Namun jauh di lubuk hatiku,
walau rasanya mustahil, aku tetap berharap bahwa diriku terlahir karena cinta.
Nanda de Werd Verduijn
Ini sudah berpuluh tahun berlalu ketika berita
gembira itu datang. Sebuah surat kabar mengumumkan bahwa akan diresmikan vlootmonument,
sebuah monumen untuk mengenang prajurit Belanda yang gugur melawan tentara
Jepang di Samudera Hindia dalam perang dunia II. Dalam pengumumam tersebut
tertera nama 365 prajurit yang berasal dari 19 kapal perang yang bertempur pada
8 Desember 1941 hingga Maret 1942. Monumen itu akan diresmikan di kompleks Makam
Kembang kuning, Surabaya, pada tanggal
19 Januari 2007. Bagi keluarga prajurit yang ingin menghadiri peresmian itu
diharap mendaftar pada pemerintah Belanda.
Nama Ayah ada dalam daftar itu.
Sayang Ibu telah meninggal tiga tahun yang lalu.
Kalau saja Ibu masih hidup, tentu dia akan senang sekali. Cita-citanya adalah
berdoa di depan pusara yang berukir nama Ayah. Seumur hidupnya, Ibu hanya bisa
berdoa di meja kecil di mana foto ayah diletakkan di atasnya. Di sekelilingnya,
tidak pernah lupa Ibu meletakkan rangkaian bunga. Setiap harinya Ibu mengganti
bunga-bunga itu. Tidak perlu menunggu hingga bunga-bunga itu layu. Setiap hari,
selama lebih dari enam dekade, Ibu melakukan hal tersebut tanpa pernah absen.
Seandainya Ibu masih ada, tentu ia akan sangat berbahagia menghadiri peresmian
monumen itu.
Ponirah
Entah mengapa aku kembali mengingatmu. Di balik rasa
benci ini, tak kupungkiri kalau aku merindukanmu. Apakah kau tewas dalam
pertempuran? Atau, kau masih hidup setelah perang berakhir dan kembali pulang
ke Belanda? Aku tidak punya jejakmu. Betul-betul tak punya jejakmu. Seandainya
kau sudah meninggal, di manakah makammu? Aku ingin berkunjung ke pusaramu.
Entahlah, mungkin untuk sekedar mengumpat. Atau sedikit berdoa, barangkali.
Bapak Verduijn, begitukah seharusnya aku
memanggilmu? Usiaku kini enampuluhlima tahun. Mungkin sebentar lagi meninggal
dan kita akan bertemu di alam baka. Jika memang kita sempat berhadapan, maukah
kau kupanggil Bapak? Maukah kau mengakui aku sebagai anakmu? Walau rambutku
legam, mataku biru, Bapak.
Nanda de Werd Verduijn
Enam puluh lima tahun yang lalu aku meninggalkan
negara ini. Tentunya perasaanku saat itu tidak semenkolis saat itu. Tentu saja,
waktu itu umurku baru empat bulan. Belum lama menghirup dunia. Tidak ada yang
bisa kuingat tentang saat itu. Tapi menurut ibuku, kami pergi dengan hati remuk
redam. Ada sepotong hati yang tertinggal di negara ini, yang tidak bisa kami
bawa serta ke negeri kami. Potongan hati itulah yang kini akan aku jambangi. Di
sini, di Makam Kembang Kuning.
Kami, para keluarga prajurit yang namanya tersemat
dalam vlootmonument, berdiri dengan khidmat. Kulirik wajah-wajah di
sekelilingku. Aku melihat wajah-wajah penuh haru dan mata-mata penuh kerinduan.
Seorang wanita tua airmatanya tak henti menetes. Mungkin suaminyalah yang gugur
kala perang. Bagi mereka yang pernah berhubungan secara nyata dengan para
pahlawan perang itu, tentunya ini menjadi momen yang sangat sentimentil. Dapat
kurasakan, walau sepanjang hidupku, tak pernah sekali pun aku jumpa Ayah secara
nyata.
Suara dentang lonceng Kapal Hr. Ms. Java di samping Vlootmonument
membuyarkan lamunanku. Lalu, Kepala Staf Angkatan Laut Belanda, Laksamana Madya
J.W. Kelder, pemimpin peresmian Vlootmonument, perlahan-lahan membuka
tirai monumen. Tampak deretan nama-nama prajurit terukir indah di dinding
monumen yang terbuat dari marmer dengan plakat perunggu.
Tak dapat kutahan haru yang membuncah. Tubuh renta
ini berdiri di depan “pusara” Ayah. Mata rabunku membaca nama, J.W. Verduijn.
Ponirah
Berita itu tercantum di halaman 4 harian Jawa Pos
tanggal 20 Januari 2007, tepat di atas kupon quiz Metropolis Lebih
kenyang! Grand Prize 25 Juta + 5 Juta untuk 5 Pemenang. Sebuah monumen
untuk mengenang prajurit Angkatan Laut Belanda yang gugur di Samudra Hindia
lebih dari enam dekade lalu diresmikan di kompleks Makam Kembang Kuning. Nama
Verduijn di sebut-sebut di dalamnya. Diceritakan tentang Nanda de Werd
Verduijn, anak dari J.W Verduijn yang datang ke Indonesia untuk menghadiri
peresmian monumen tersebut.
Apakah J.W Verduijn yang dimaksud di berita itu
adalah Bapak? Ah, memangnya hanya bapakku yang bernama J.W Verduijn? Tidak
mungkin, karena sepertinya terlalu aneh untuk menjadi kenyataan.
Sudahlah, aku tidak mau mencemari pikiran tuaku
dengan kenangan masa lalu. Lebih baik kuisi saja kuis metropolis ini. Siapa
tahu beruntung sehingga ada yang kuwariskan untuk anak cucu.
Siapa nama penyandang tunarungu yang menciptakan
alat latihan berbicara seperti dimuat Metropolis 19 Januari lalu?
Sial … aku tidak beli koran kemarin!
Yogyakarta, 21 Februari 2007
*cerita pernah dimuat di situs Ranesi-Belanda.
Comments
Post a Comment