Skip to main content

Maturnuwun, Chairil

Dulu, saya minta bantuan seseorang untuk membuatkan alamat surel. Maklum, gaptek. Entah mengapa, dia mengambil judul puisi karya Chairil Anwar untuk nama surel saya. Tak masalah bagi saya, walau sebenarnya saya belum pernah membaca puisi tersebut.

Seiring jalannya waktu, dan level kegaptekan saya menurun, saya sudah tidak berselera mengganti alamat surel tersebut. Saya paling malas ganti-ganti alamat apa pun, termasuk nomor ponsel. Saya nggak suka ngeribetin masalah gituan. Ketimbang surel saya memakai nama dan buntut tahun lahir, derai cemara jelas lebih bagus.

Terjebaklah saya bersama puisi ini. Saya mesti bawa si derai-derai cemara bersama saya. Sampai jauh....


DERAI DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949
Karya Chairil Anwar

Comments

Popular posts from this blog

Buku-Buku yang Menampol Otak

Sekarang tanggal 23 April. Konon, sekarang hari buku sedunia. So, Happy World Day! Omong-omong tentang buku, saya jadi ingin bercerita sedikit tentang masa kecil saya. Saya lahir dan tinggal di Cirebon sampai umur 13 tahun. Masa itu, saya sepertinya nggak pernah diajak pergi ke toko buku, deh. Ada atau tidaknya toko buku, saya juga nggak ingat. Tapi, di rumah, saya mendapat asupan buku yang cukup lumayan. Bapak saya seorang guru. Secara berkala, Bapak membawa buku-buku koleksi perpustakaan sekolah ke rumah. Saya jadi kenal Lima Sekawan, Malory Towers, Sapta Siaga, Trio Detektif, Si Noni, juga aneka dongeng dunia. Satu judul dari serial Noni yang saya ingat adalah Sang Bromocorah. Sampul dan judulnya bagi saya  serem banget. Tapi ceritanya saya suka banget. Saya sudah lupa alunya, tapi persahabatan Noni dan sang bromocorah itu bikin saya mengkhayalkan diri sebagai Noni. Kebetulan belakang rumah saya jalan setapak menuju kebun yang gelap. Dan halaman belakang rumah saya hanya berpa

Ode untuk J.W.Verduijn

Ponirah Namaku Ponirah. Aku lahir dari ibu yang bernama Sumirah. Bertahun-tahun aku memercayai kalau ayahku bernama Purwadi. Karena Purwadilah lelaki yang kupanggil bapak. Dia baik walau kadang keras. Namun, seperti ibuku, kulitnya coklat, hidungnya pesek, matanya kelam, dan rambutnya hitam. Rambutku juga hitam. Tapi kulitku putih, hidungku bangir, dan yang paling aneh adalah, mataku biru. Sedari kecil, mulutku tak henti melontar tanya, kenapa aku tidak mirip Bapak, Ibu? Kenapa aku tidak mirip Ibu, Bapak? Kenapa aku tidak mirip bapak dan ibuku? Aku cantik. Semua orang gemas melihatku karena kata mereka, aku seperti boneka. Tapi di balik pancaran mata gemas orang-orang yang memandangku, aku juga menangkap sinyal tak suka. Entahlah, mungkin sinis, atau meledek. Teman-teman kecilku memanggilku Londo Jowo. Ada juga yang memanggilku Si Bule. Banyak pula yang tertawa karena mataku biru tapi namaku Ponirah. Sebagian orang memanggilku si anak kompeni. Julukan yang terakhirlah yang menu